Sunday 28 July 2013

Firasat

Kudengak kan kepalaku kearah langit, warna biru menominasi ciptaan Tuhan tersebut. Kulihat awan, entah mengapa saat itu awan tak terlihat biasa dipandanganku. Salah satu awan membentuk wajahmu. Berkali-kali ku kedipkan mataku untuk memastikan apa yang kulihat barusan. Awan itu sama sekali tak berubah sayang, masih membentuk lekuk wajahmu. Bahkan desau angin meniupkan namamu yang terus terngiang ditelingaku. Tubuhku terpaku. Kurasa kini kamu memang telah menguasai sebagian besar fikiranku. Hingga aku mulai berhalusinasi tentangmu. Ataukah ini sebuah pertanda? Bahkan semalam, bulan sabit melengkungkan senyummu. Tabur bintangpun terlihat serupa kilau auramu. Dalam hitungan detik aku tersadar, akupun segera berlari. Secepat mungkin ku ayunkan langkahku. Tak dapat kuatur irama nafasku. Aku terlalu gelisah akan semua pertanda tentangmu. Dalam hati kuteriakkan namamu. Butir-butir bening menyelinap keluar dari sudut mataku, lalu bergulir pelan menelusuri lekuk wajahku. Secepat mungkin kuhapus air mata itu dengan punggung tanganku. Tanpa henti ku terus berlari, entah apa yang sedang kukejar. Bahkan tak peduli hujan yang terus membasahi sekujur tubuhku sekalipun. Isak tangis mengiringi setiap langkahku.

Hatiku berteriak dalam bisu. Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi sayang. Kata-kata itu terus meletup dihatiku. Bahkan firasatku mengatakan untuk kamu cepat pulang. Aku percaya alam memang bisa berbahasa, mengisyaratkan sebuah pertanda. Entah itu pertanda buruk ataupun sebaliknya. Dan ku yakin ada makna dibalik semua pertanda ini. Tapi tiba-tiba kebingungan menyergapi pikiranku. Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli dengan semua itu, yang aku tahu kini, aku ingin melihatmu dihadapanku. Memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Memastikan bahwa senyummu masih merekah menghiasi wajahmu.Walau saat ini hujan terus membasahi, seolah ku berair mata. Tapi nyatanya saat ini aku memang berair mata sayang. Aku gelisah memikirkanmu. Dan nyatanya aku memang merindukanmu. Merindukan kita yang dulu, merindukan senyuman manismu, sorotan matamu, bahkan hangat dekapmu. Sayang, ku hanya ingin kamu kembali. Jika itu terjadi, tak akan kubiarkan kamu pergi lagi. Tetapi bulir hujan menyadarkanku, kamu tak akan pernah kembali lagi.


-Terinspirasi dari Firasat-nya Marcell

Jangan pergi

Ditengah sunyap dan gelapnya malam kita bertemu (lagi) setelah sekian lama tak kulihat sosokmu yang dulu sempat singgah dihatiku. Aku masih ingat, saat itu kamu memakai baju hitam-putih dengan garis horizontal. Tentu aku masih ingat. Dan malam itu aku mengenakan dress ungu gelap dengan bis putih dilingkar rok, dengan rambut yang kubiarkan tergerai panjang. Setelah sekian lama mata kita kembali bertemu. Kurasa mataku merindukan tatapan hangatmu itu. Ditengah riuhnya pesta, kita seperti dibawa kemasa lalu. Mengais-ngais kenangan lalu yang masih tersisa dibenak kita masing-masing. Dalam kenangan kau seret aku perlahan. Mencoba mencari perasaan yang dulu pernah ada. Mencoba mencari celah untuk kembali. Nihil, saat kita menyadari tak sedikitpun celah itu ada, secepat sigap aku tersadar, begitu pula denganmu. Akhirnya kita hanya saling membuang muka. Mengisyaratkan bahwa kenangan dulu itu tak akan terulang lagi. Hanya saja aku tak ingin menghancurkan kerja kerasku untuk melupakanmu, melupakan kita yang dulu. Melupakan binar mata indahmu itu. Sayang, aku tak ingin jatuh dilubang yang sama lagi.

Kamu membalikkan badanmu dan kembali kearah sebelumnya. Melihat hal itu, aku menenggelamkan kepala dilipatan tanganku diatas meja. Aku mulai kembali menata isi fikiranku, menyadarkan hatiku bahwa kamu hanyalah sebuah fatamorgana. Bahwa kamu tak mungkin dapat kumiliki. Menyadari bahwa kamu adalah sebuah gaun mewah yang tak akan mungkin kudapatkan. Bulan yang tak mungkin dapat kugapai. Kamu hanyalah angan-angan sayang. Kamu tak akan pernah menjadi nyata, tidak untukku. Tapi apa daya, dalam sekejap kamu telah berhasil menghancurkan usaha kerasku untuk menghilangkanmu dari hati dan biskuit lunak didalam kepalaku. Malam itu menjadi malam yang panjang bagiku.

Sialnya aku harus melihatmu setiap hari, karna kamu terbiasa berjalan dihadapanku. Karna kamu terbiasa menari-nari dengan tawamu diatas segala kebingunganku yang disebabkan olehmu. Sejak kejadian itu kamu terus menatapku dalam sorot mata yang tak pernah dapat kuartikan. Setiap ada kesempatan kamu selalu melakukan hal itu, sama sekali tak ku mengerti. Mengapa kamu lakukan itu? Atau kamu sengaja? Sengaja ingin mempermainkan ketulusanku lagi. Sayang, jangan buat aku terjatuh lagi jika kamu tak ingin mengulurkan tanganmu untuk membuatku berdiri lagi. Bahkan luka yang kamu torehkan dulu masih belum kering.

Bahkan kamu tak peduli ditengah banyaknya orang, kamu terus menatapku dengan sorot mata indahmu itu. Bahkan dalam jarak dekat sekalipun kamu tak peduli. Aku tak mengerti, sama sekali tidak. Aku tak bisa membaca sorot mata teduh mu itu, aku tak bisa mengartikan setiap isyaratmu, aku juga tak bisa memahami maksud dari ceritamu tentangku, cerita tentangku yang kamu ceritakan kepada temanmu yang juga temanku. Dan setiap kamu menatapku seperti itu, aku hanya membalas tatapanmu dengan segudang tanda tanya besar yang memenuhi setiap ruang dikepalaku. Terkadang aku mengalihkan pandanganku. Membutakan mataku agar tak membalas tatapanmu itu, menulikan telingaku untuk tak mendengar setiap kabar tentangmu, membisukan mulutku untuk tak meluapkan isi hatiku tentangmu. Sayang, aku menahan rasa yang meletup-letup ini seorang diri. Mencoba menahan ledakan yang mungkin bisa saja terjadi kapanpun jika hati ini tak kuasa lagi menahan. Tanpa kusadari, aku membiarkan hatiku kembali terbuka untukmu.

Seorang teman selalu menjembatani hubungan kita, komunikasi kita. Aneh memang. Kamu bilang aku cantik, baik, dan segala pujian terlontar dari mulutmu. Sayang, jangan pernah kamu ucapkan pujian untukku lagi. Karna aku tahu itu hanyalah tutur manismu. Sayangnya sulit untuk mempercayaimu lagi. Asal kamu tahu saja, jika seseorang berbuat salah sekali saja maka akan sulit untuk mempercayainya, begitu pula denganmu.

Hingga suatu pagi kudapatkan kabar bahagia tentangmu, bagiku. Jantungku berdetak sangat kencang, tak dapat kuatur irama nafasku saat itu. Kabar itu terlalu membahagiakan untukku, kabar yang selama ini aku nantikan setelah sekian lama. Aku mendapatkan kabar bahwa ternyata kamu menyukaiku, kamu juga menceritakan tentang malam itu kepada temanmu. Tapi secepat mungkin kuelakkan hati dan fikiranku agar tak terbuai lagi oleh angan-angan tentangmu. Aku tak ingin terlalu memikirkan ataupun mempercayai setiap kabar baik tentangmu yang kuterima. Sayang, aku terlalu lelah untuk merasakan rasa sakit itu lagi.

Ditengah sunyapnya malam, aku memikirkanmu dengan senyum maluku, sungguh menggelikan memang. Saat mataku mulai lelah dan mulai berada didunia mimpi, hei ini sudah tengah malam. Tiba-tiba sebuah nomor tak diketahui muncul dilayar handphone ku. Aku berfikir sejenak sebelum mengangkatnya, lalu entah angin dari mana yang memberitahuku, aku merasa itu kamu. Asal kamu tahu saja, aku memiliki firasat yang kuat akan sesuatu. Lalu dengan tangan sedikit gemetar, jantung yang berdetak secara tak beraturan, aku menekan tombol hijau di handphone ku. "Halo" kataku, sunyap disebrang sana, penelfon misterius itu sama sekali tak bersuara dan tak lama setelah itu, ia memutuskan telfonnya. Karna mata ini tak sanggup lagi menahan kantuk, kuputuskan untuk kembali kedunia mimpi. Persetan dengan penelfon misterius itu.

Keesokan paginya seorang teman memberikan nomor handphone mu, ku lihat nomor itu, ku samakan dengan nomor si penelfon misterius tadi malam. Dan ternyata, nomornya sama. Si penelfon misterius itu memang kamu ternyata....

                                                                stay tuned

Tuesday 16 July 2013

Sesuatu yang kusebut masa lalu

                Dalam jarak, kulihat sosokmu yang begitu bersinar, bagiku. Masih mengenakan celana seragam sekolah tetapi dengan atasan kaus. Dalam jarak, kulihat tawamu yang begitu meneduhkan hati, tentunya hatiku. Raut wajahmu yang begitu rupawan, dan senyuman yang begitu mempesona bagi setiap jiwa. Dalam senyuman penuh angan, kulihat sosokmu yang begitu kukagumi, mungkin kusukai. Aku berdiri dibalik tonggak didepan kelasku, kutatap sosokmu dengan hati-hati agar tidak diketahui oleh siapapun dan kamu tentunya. Saat itu adalah saat pertama kalinya sosokmu menjadi pandanganku, saat itu juga ada perasaan aneh yang mulai menghampiriku, perasaan yang biasa disebut cinta, mungkin.
                Sekian lama tak kulihat sosokmu yang kini sangat kurindukan. Kemana saja kau pergi? Atau mungkin aku yang terlalu sibuk memikirkan kehidupanku. Sehingga aku lupa untuk mengagumimu. Sehingga aku lupa untuk memuja sosokmu yang begitu indah. Tetapi disaat aku mulai lupa denganmu, mengapa kau malah muncul dihadapanku? Kau benar-benar merusak sistem kerja hatiku yang sudah kurancang bersusah payah untuk menghapus sosokmu dari sana. Awalnya aku tak berani untuk dekat denganmu, sama sekali tidak berani. Tetapi mengapa akhirnya kita malah begitu dekat? Bahkan kita sering saling menjaili satu sama lain. Kita juga sering tenggelam dalam tawa bersama. Kukira sosokmu begitu dingin, ternyata aku salah, kamu begitu hangat. Cinta menyergapku dengan sepasang sayapnya yang begitu lembut bagaikan serpihan awan dilangit. Awalnya aku mengelak bahwa ini bukan cinta. Tetapi semakin aku mengelak, cinta semakin erat mendekapku.
               Saat kita telah begitu dekat dan perasaan ini semakin memuncak, tiba-tiba sesuatu menjauhkan aku dan kamu. Tanpa ku sadari, kita mulai menjauh, dan semakin menjauh layaknya orang asing.  Kini kita melangkah berjauhan, tak lagi dijalan yang sama. Jarak benar-benar berhasil memisahkan kita, hingga kita saling melupakan.
   Kulihat sosokmu dari kejauhan, sosok itu kini bagaikan orang asing bagiku. Senyumanmu tak lagi menyapaku, tawamu tak lagi menghampiriku, kejailanmu tak lagi mengusikku. Kemanakah perginya kita yang dulu? Mengingat senyumanmu tak lagi menyapaku, kenangan kita dulu bagaikan mimpi.
               Hingga suatu saat aku tersadar. Perasaan itu masih ada, masih sama. Kufikir sosokmu benar-benar telah hilang, ternyata tidak. Sosokmu masih kutemukan disuatu ruang kecil yang disebut hatiku. Aku tahu sangat terlambat menyadari perasaan ini, aku tahu kesempatanku tak akan datang dua kali. Kini aku hanya bisa menatap sosokmu dari kejauhan, sosok yang dulu sempat mewarnai hidupku, mengisi setiap lembaran dihatiku. Tapi kini kusadari, aku tak pantas berfikir picik seperti itu lagi. Kamu dan aku kini tak lagi berada dijalan yang sama. Dan kini segalanya telah menjadi sesuatu yang kusebut masa lalu.

Thursday 11 July 2013

Teruntuk malaikat pelindungku

             Malam ini terasa begitu dingin bagiku dan tentunya juga bagi seseorang yang duduk disebelahku. Sebuah sofa didepan televisi menanggung berat badanku dan dia. Tanganku memeluk erat kakiku yang ditekuk dan menenggelamkan kepalaku disana. Badanku gemetar, keringat membasahi seluruh tubuhku. Dalam rikuh aku menangis tersedu-sedu, menyisakan bulir air mata yang mengalir dilekuk wajahku tanpa henti. Sebuah tangan merangkulku erat, mengelus-elus punggungku, berusaha meredam isak tangisku. Mencoba menanggung rasa sedihku dan rasa sedih yang ia rasakan juga. Matanya terlihat sendu, sudut-sudut matanya basah, badannya pun terlihat sangat rikuh tak berdaya.

            Pandanganku semu, setiap hal yang kulihat terlihat kabur karna air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Untuk bocah seperti kami, hanya inilah yang bisa dilakukan;menangis untuk menunjukkan amarah, rasa kesal, kecewa, dan kesedihan. Segala hal itu sudah cukup untuk mengurangi beban yang dirasakan saat ini.

            Teriakan demi teriakan, hentakan demi hentakan, dan hardikan demi hardikan menembus dinding;suara dari sebuah bilik, teriakan yang menggetarkan hati kami. Teriakan itu menembus setiap sudut dinding yang membuat orang yang berada diluarnya dapat mendengar dengan jelas suara-suara dari bilik itu. Suara itu menusuk hingga ke rongga-rongga telingaku, membuat jantungku berdegup sangat kencang.

            Hempasan pintu mengagetkanku, membuat setiap bulu yang melekat pada pori-pori ditanganku berdiri. Badanku semakin gemetar. Menyadari hal itu, seseorang yang sedari tadi menangis bersamaku merangkulku semakin erat. Seolah mengisyaratkan, bahwa ia akan melindungiku dari rasa takut. Aku menegakkan badanku untuk membalas pelukan itu karna ia memang jauh lebih tinggi dibandingku yang masih berbadan mungil. Aku melingkarkan tanganku dipinggangnya, dan memejamkan mataku erat-erat;berusaha meredam rasa takutku. Dapat kurasakan sisa air mata yang sedari tadi berlinang dimataku mengalir begitu saja.

            Seseorang keluar dari bilik sumber suara bising yang sedari tadi menakutkan kami. Diambang pintu-seseorang itu menghentikan langkahnya begitu melihat kami saling ketakutan. Sesaat suasana terasa amat kikuk. Raut wajahnya yang semula keras kini menjadi sedikit meredam, badannya yang semulanya tegang kini menjadi sedikit melemas. Seolah tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan kami, ia melanjutkan langkahnya;melangkah keluar dari ruangan tempat kami berdua meringis. Melihat kepergiannya, kami hanya saling menatap dalam diam dan heran. Tangis kami sudah sedikit mereda, menyisakan sedu yang berirama. Air mata kami pun mulai mengering, kini yang tersisa hanya diam dalam keheningan yang sulit untuk dijelaskan.

            Tiba-tiba seorang bocah laki-laki yang sedari tadi menemaniku kini malah tertawa getir sambil menghapus sisa air mata dipipiku. Aku menatapnya dalam heran, heran karna tiba-tiba raut wajahnya kini berubah drastis. Tapi bisa kulihat dari tawa itu terdapat kesedihan yang sengaja ditutupinya. Raut wajahnya berbohong. Oh aku mengerti, ia sengaja menunjukkan raut wajah seperti itu agar aku tidak sedih lagi, agar aku melupakan hal mengerikan yang tadi terjadi. Tiba-tiba butir-butir bening menyelinap keluar dari sudut mataku. Aku menyadari suatu hal, dia yang sedari tadi mencoba menanggung sedih yang kurasakan, malah kuabaikan. Aku malah sibuk dengan kesedihanku. Padahal ia mengabaikan kesedihannya untuk menanggung kesedihanku. Kini aku malah menangisinya, menangisi kesedihan yang ditanggungnya, menyadari keegoisanku.

            Ia terlihat heran melihatku. Karna aku terus menangis dengan kencang, menghasilkan suara tangis yang memekakkan telinga. Melihatku yang seperti itu, dia kembali memelukku erat dan mengatakan kata-kata untuk menenangkanku, dan untuk meredakan tangisku.



Terimakasih untukmu, 
 seseorang yang selalu melindungiku, 
melindungiku dari rasa takut.