Kudengak kan kepalaku kearah langit, warna biru menominasi ciptaan Tuhan tersebut. Kulihat awan, entah mengapa saat itu awan tak terlihat biasa dipandanganku. Salah satu awan membentuk wajahmu. Berkali-kali ku kedipkan mataku untuk memastikan apa yang kulihat barusan. Awan itu sama sekali tak berubah sayang, masih membentuk lekuk wajahmu. Bahkan desau angin meniupkan namamu yang terus terngiang ditelingaku. Tubuhku terpaku. Kurasa kini kamu memang telah menguasai sebagian besar fikiranku. Hingga aku mulai berhalusinasi tentangmu. Ataukah ini sebuah pertanda? Bahkan semalam, bulan sabit melengkungkan senyummu. Tabur bintangpun terlihat serupa kilau auramu. Dalam hitungan detik aku tersadar, akupun segera berlari. Secepat mungkin ku ayunkan langkahku. Tak dapat kuatur irama nafasku. Aku terlalu gelisah akan semua pertanda tentangmu. Dalam hati kuteriakkan namamu. Butir-butir bening menyelinap keluar dari sudut mataku, lalu bergulir pelan menelusuri lekuk wajahku. Secepat mungkin kuhapus air mata itu dengan punggung tanganku. Tanpa henti ku terus berlari, entah apa yang sedang kukejar. Bahkan tak peduli hujan yang terus membasahi sekujur tubuhku sekalipun. Isak tangis mengiringi setiap langkahku.
Hatiku berteriak dalam bisu. Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi sayang. Kata-kata itu terus meletup dihatiku. Bahkan firasatku mengatakan untuk kamu cepat pulang. Aku percaya alam memang bisa berbahasa, mengisyaratkan sebuah pertanda. Entah itu pertanda buruk ataupun sebaliknya. Dan ku yakin ada makna dibalik semua pertanda ini. Tapi tiba-tiba kebingungan menyergapi pikiranku. Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli dengan semua itu, yang aku tahu kini, aku ingin melihatmu dihadapanku. Memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Memastikan bahwa senyummu masih merekah menghiasi wajahmu.Walau saat ini hujan terus membasahi, seolah ku berair mata. Tapi nyatanya saat ini aku memang berair mata sayang. Aku gelisah memikirkanmu. Dan nyatanya aku memang merindukanmu. Merindukan kita yang dulu, merindukan senyuman manismu, sorotan matamu, bahkan hangat dekapmu. Sayang, ku hanya ingin kamu kembali. Jika itu terjadi, tak akan kubiarkan kamu pergi lagi. Tetapi bulir hujan menyadarkanku, kamu tak akan pernah kembali lagi.
-Terinspirasi dari Firasat-nya Marcell
Hatiku berteriak dalam bisu. Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi sayang. Kata-kata itu terus meletup dihatiku. Bahkan firasatku mengatakan untuk kamu cepat pulang. Aku percaya alam memang bisa berbahasa, mengisyaratkan sebuah pertanda. Entah itu pertanda buruk ataupun sebaliknya. Dan ku yakin ada makna dibalik semua pertanda ini. Tapi tiba-tiba kebingungan menyergapi pikiranku. Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli dengan semua itu, yang aku tahu kini, aku ingin melihatmu dihadapanku. Memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Memastikan bahwa senyummu masih merekah menghiasi wajahmu.Walau saat ini hujan terus membasahi, seolah ku berair mata. Tapi nyatanya saat ini aku memang berair mata sayang. Aku gelisah memikirkanmu. Dan nyatanya aku memang merindukanmu. Merindukan kita yang dulu, merindukan senyuman manismu, sorotan matamu, bahkan hangat dekapmu. Sayang, ku hanya ingin kamu kembali. Jika itu terjadi, tak akan kubiarkan kamu pergi lagi. Tetapi bulir hujan menyadarkanku, kamu tak akan pernah kembali lagi.
-Terinspirasi dari Firasat-nya Marcell