Saturday 17 May 2014

Sunshine

         Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela kamarku. Matahari pagi ini sepertinya sedang tampak bahagia karena ia memancarkan cahaya yang terang dan hangat, bahkan aku dapat merasakan kehangatannya melewati setiap pori-pori dikulitku. Walaupun belum satupun tirai yang terbuka, cahaya pagi ini mampu membangunkan ku seolah aku baru bangun dari tidur panjang. Perlahan ku buka mata tanpa sedikitpun beranjak dari posisiku. Lalu aku berpikir, bisakah matahari itu membagi sedikit kebahagiaannya untukku? Suara burung-burung yang menyanyi dengan merdu dipagi sepi ku cukup meramaikan sedikit hatiku. Aroma tanah pun tercium sangat menenangkan hati, aroma yang segar akibat hujan lebat tadi malam. Malam tadi benar-benar malam yang sangat sunyap dan sepi, sama halnya seperti pagi ini, tak ada bedanya. Bahkan setiap harinya selalu seperti ini. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku yang selalu melalui hari-hari yang sama setiap harinya. Seolah aku hanya mengulang hari yang itu-itu saja. Seolah aku bagaikan seekor marmut lucu yang setiap waktunya hanya berlari didalam sebuah roda. Seolah telah berlari sangat jauh, namun kenyataannya aku masih ditempat yang sama. Bagaikan bunga mawar yang memiliki banyak bunga lain didekatnya, namun pada kenyataanya ia hanya sendiri bertumpu pada tangkainya. Seolah aku telah berteriak sangat kencang tapi segala hal sekitarku bagaikan ambigu, karena kenyataanya aku hanya sendiri bertumpu pada kedua kakiku. Seolah aku berada didunia ini hanya seorang diri.

        Tetes demi tetes air mata perlahan menyelinap dari sudut mataku, mengalir menelusuri setiap lekuk wajahku, dan berakhir meresap pada bantalku. Pandanganku masih lurus kedepan, tepatnya menatap langit-langit rumahku. Satu kata yang terbesit dalam benakku saat ini, sepi. Seolah aku tak ingin bangun lagi untuk menghadapi hidupku ini. Aku hanya ingin tidur lagi, jika bisa menjadi tidur panjang. Kembali kututup mataku, namun air mata itu kembali mengalir melalui sudut mataku. Kubiarkan ia mengalir tanpa kuusik sedikitpun. Seolah air mata ini berkata bahwa ia sangat lelah. Aku berteriak sekencang mungkin dalam hatiku. Aku selalu bercerita pada satu-satunya teman yang kumiliki, Tuhan. Aku bercerita tentang segala halnya, walaupun aku tahu Dia tahu segala hal yang kurasakan. Tapi tetap saja aku bercerita segala hal pada-Nya. Tentang keluh kesahku, senangku, sepiku, mimpi-mimpiku dan lelahku. Seolah hal yang kuceritakan selalu kesedihanku, seolah hanya sepi yang bisa kurasakan. Namun aku tahu, Tuhan tak pernah lelah mendengar kisah-kisahku. Tak ada yang lebih baik dari-Nya.

        Aku kembali membuka mata dan kulihat disekitarku. Kulihat segalanya tampak beku dan aku mulai merasa dingin. Segala hal yang kulihat seakan membeku seperti es yang telah lama membeku, seolah tak bisa cair lagi.  Kembali kutarik selimut, tapi dingin itu telah menusuk hingga ke dasar hati. Aku merasakan kebekuan itu tepat disini, dihati ini. Sangat dingin. Dingin ini sangat berbeda dengan dingin yang biasa kita rasakan saat musim dingin tiba. Walaupun salju menutupi seluruh kota, namun tetap saja tak sepadan dengan dingin yang kurasakan disini. Setidaknya jika dingin itu berada diluar, masih ada api unggun yang menghangatkan. Namun jika dingin yang sangat membekukan itu berada didalam hati ini, apakah bisa dihangatkan dengan api unggun? Tentu saja tak bisa.

         Aku bisa menahan napas. Aku bisa menggigit lidahku. Aku bisa memalsukan senyuman. Aku bisa memaksa diri untuk tertawa sekencang mungkin atau sebahagia mungkin. Aku bisa menari dan memainkan peran, peran apapun itu. Aku bisa menjadi sepalsu mungkin. Aku bisa melakukannya. Namun pada kenyataannya aku hanyalah seorang manusia dan aku berdarah ketika aku terjatuh. Dan surgapun tahu aku telah mencoba.


Teruntuk matahari,
Matahari yang selalu menyinari dan memberi kehangatannya pada siapapun. Walaupun tak seorangpun yang ada untuk menemani matahari itu. Namun matahari tak pernah mengeluh akan rasa sepi yang ia rasakan. Tapi aku selalu disini untuk menemanimu, matahari.