Friday 17 January 2014

Dalam kepedihan hati

Saat itu aku tak sengaja melihatmu bersamanya, seseorang yang pernah hadir dan mengisi masa lalumu, tak terkecuali hatimu. Jantungku berdetak sangat kencang. Jemariku membeku seketika. Hatiku tercabik luar biasa. Sayang, mengapa kembali kamu hadirkan luka, sedangkan luka lama yang kamu torehkan masih belum kering. Kini luka itu semakin dalam dan semakin perih. Aku tak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Hatiku beku, lukaku perih. Apa aku harus menyerah? Namun tak dapat kusangkal, cintaku masih sama, masih seperti dulu. Kalau boleh jujur, aku tak ingin kisah kita selesai. Masih terlalu singkat. Masih terlalu sedikit kenangan yang telah kita buat. Terlalu sedikit. Tak akan cukup untuk kamu kenang nantinya. Hingga akhirnya kamu akan cepat melupakanku. Dan suatu saat kamu akan menggandeng tangan wanita lain dihadapanku. Jika saat itu aku tersenyum, bukan berarti aku turut bahagia. Ketahuilah, hatiku meringis.

Kamu tak akan tahu seberapa banyak derai air mata yang terus berjatuhan setiap detiknya. Seolah telah sampai pada titik akhir kepedihanku. Aku tak sanggup lagi menahannya. Apa salah jika ku tunjukkan air mata? Karna mulut ini tak lagi sanggup berucap, lidahku kelu tetapi air mata ini mampu mempertegas segalanya. Mempertegas seberapa besar luka yang kurasakan. Apa kamu belum juga mengerti? Aku lelah untuk terus berurai air mata, seolah mataku semakin mengecil akibat tetesan air mata yang berdesakan ingin keluar. Hari-hari ku menjadi sangat kacau, kamu selalu menjadi penyebab air mataku. Akupun heran kenapa aku malah sering berurai air mata. Apa karena aku terlalu mencintaimu? Jika iya, aku akan berusaha mengikis sedikit demi sedikit rasa cinta yang ku miliki. Agar aku tak lagi merasa perih. Kalau bisa aku ingin berhenti mencintai. Cinta hanyalah sebuah kesakitan bagiku. Benar kata orang, bahwa segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Buktinya kini semakin aku mencintaimu, maka hatiku semakin mudah terluka.

Mungkin kamu berfikir sikapku ini terlalu berlebihan. Namun siapa yang tahu isi hati seseorang? Bagimu mungkin biasa, karna bukan kamu yang merasakan, melainkan aku. Kadang dengan menutup mata hidup akan jadi lebih mudah daripada membuka mata, setidaknya kita tak perlu melihat apa yang tak ingin kita lihat. Dan yang pasti tak perlu merasakan keperihan. Tak seperti aku saat ini, air mataku tak berhenti berjatuhan membasahi pipiku. Namun kamu tetap tak mengerti sedihanku, kamu juga tak hadir untuk menghapus air mataku. Percayalah kamu tak akan temukan wanita yang rela menangis hingga seperti ini untukmu selain ibumu. Dan wanita yang dengan bodohnya rela memberikan seluruh rasa cintanya untukmu. Percayalah sayang, tak akan pernah ada yang seperti itu padamu. Hanya aku

Aku masih ingin memaafkanmu untuk hal ini. Namun jika kini kamu telah berhenti mencintaku, apa aku harus memaafkanmu untuk hal itu? Sayang, hatiku sangat sakit. Segalanya tak lagi sama, kita jauh dari kata manis, seperti saat dulu. Dulu kamu tak pernah seperti ini, kamu yang tak peduli, kamu yang memarahi ku padahal aku sedang berderai air mata. Dengan melihat sikapmu yang seperti ini, membuat aku sadar bahwa tak ada celah untuk kembali. Cintamu tak lagi sama. Tapi ketahuilah, jika suatu saat aku pergi, sesungguhnya aku tak benar-benar melepasmu, tak benar-benar melupakanmu, apalagi berhenti
mencintaimu.


Mencintaimu dengan sepenuh hati adalah keinginanku sendiri, maka wajar saja jika aku jugalah yang merasakan luka itu sendiri.

Thursday 16 January 2014

Sendu di musim hujan

Ditengahnya kegelapan, kedihan terus menyapa, menghantuiku lalu menjelma menjadi rasa rindu yang menggebu. Rasa amarah, luka, dan air mata yang tak kunjung juga pulih. Perasaan seperti itu seringkali datang silir berganti. Terkadang amarah muncul disaat sedihku memuncak, luka muncul disaat aku lelah dengan keadaan dan amarah yang kurasakan. Disaat inilah air mata berguna untuk melepaskan sedikit rasa luka yang dirasakan, lalu air mata membasuh wajah yang sedih kembali seperti semula. Namun air mata yang terus berjatuhan tak juga mengurangi kesedihan dan menghapus sedikit lukaku. Lukaku masih sama.

Derai hujan terus berjatuhan tanpa henti membasahi tanah. Menyisakan bau hujan dan tanah yang basah akan hujan. Seperti air mata ini, terus berjatuhan tanpa henti membasahi pipiku dan mengalir pada setiap lekuk wajahku. Dan menyisakan sedikit luka yang masih tersisa dihati. Walaupun telah berkali-kali ku usap air mata ini tetapi air mata ini tetap saja tak kunjung reda. Sebegitu dalamkah luka yang kurasakan? Hatiku terlanjur sakit, perih, bagai luka yang sangat dalam. Aku hanya bisa mengobati luka itu seorang diri, dengan jemari ku sendiri. Namun kini aku tak sanggup untuk bertahan melawan luka yang sudah sedemikian rupa ini. Meredam segala kesedihan yang kurasa. Kini aku hanya bisa memelukmu dalam do'a. Walau memelukmu dalam nyata adalah sebuah keinginan terbesarku saat ini dan aku akan berkata "Jangan pergi". Sayang, cinta ini sudah terlanjur dalam, tak lagi sanggup ku kuasai. Bahkan dengan bodohnya aku tak memikirkan untuk meninggalkan sedikit ruang dihati ini untuk siap kehilanganmu. Aku malah memberi seutuhnya hatiku hanya untukmu. Dan kini aku malah bingung sendiri. Bagiku, mencintaimu tak akan ada habisnya.

Saat itu kita berpapasan di gerbang sekolah, disana tak kulihat mendung diwajahmu, kamu terlihat seperti biasanya, seperti tak terjadi apa-apa. Tak sama sepertiku, siapapun yang melihat wajahku saat itu pasti tahu bahwa aku sedang dalam kesedihan yang teramat dalam. Tahukah kamu seperti apa dahsyatnya perang yang terjadi didalam hatiku saat itu? Saat itu aku sangat ingin menarikmu kedalam dekapanku, dan menunjukkan segala kesedihan dan kepedihan hatiku. Tapi raga ini menolak, kutahan tangisku, kutahan keinginanku untuk menangis di pelukanmu. Aku hanya bisa membisu ditempatku berdiri, tak berkutik sama sekali. Menahan tangisku agar tak keluar, agar kamu tak melihat kesedihanku. Agar kamu tak memandang rendah ku. Berusaha menorehkan sedikit senyuman yang mungkin lebih terlihat miris. Namun aku tetap mencoba terlihat baik-baik saja walaupun kurasa gagal. Saat itu aku terlihat sangat kacau.

Ku tatap bola mata itu pekat-pekat, mencoba mencari sesuatu tetapi nihil, tak kutemukan lagi cinta disana. Saat melihatmu, air mata ini serasa ingin mengalir begitu saja. Tetapi untungnya aku kuat menahan agar tak setetespun air mataku jatuh pada saat itu. Aku hanya tak ingin kamu berfikir bahwa aku menggunakan air mata agar mendapat belas kasihanmu. Sayang, aku tak butuh hal itu. Aku tak akan memohon ataupun meronta agar kamu tetap berada disampingku. Tapi pada kenyataannya hal itulah yang ingin kulakukan pada saat itu juga. Memohon padamu agar tetap disini dan tak pergi. Ya aku memang bodoh.

Banyak gejolak yang terjadi dalam hatiku saat ini. Melihatmu yang sekarang benar-benar membuatku terluka. Sosokmu kini telah berganti menjadi seseorang yang tak kukenal sama sekali. Membuatku tak bisa lagi seperti dulu, seperti disaat kamu belum berubah dan segalanya masih baik-baik saja. Bukannya aku tak lagi cinta, aku hanya berhenti menunjukkannya. Aku tak ingin lukaku semakin dalam. Aku hanya berusaha menyisakan sebuah ruang dihati ini agar tetap terjaga kosong, agar nanti jika kamu benar-benar pergi maka aku akan siap akan hal itu. Meski sebenarnya hati ini merindukanmu tapi aku tetap berusaha berjuang malawan hati. Melawan cinta yang aku miliki. Meski saat ini aku masih menangis, meski air mata ini tiada hentinya mengalir, aku akan tetap bertahan untuk melawan hati.


Aku lelah, aku lelah untuk terus menangis meringis kesakitan. Apa kamu tak mengerti? Apa kamu tak bisa untuk tidak menyakitiku? Atau kesedihanku adalah sebuah kebahagiaan bagikmu? Apa dengan melihat air mataku adalah tawa bagimu? Sakit, benar-benar sakit yang kurasa saat ini. Cintaku telah hilang direnggut masa. Bahkan besarnya cinta yang kumiliki tak sanggup menahanmu untuk tak pergi. Aku memang sangat mencintaimu dan tak inginkan perpisahan. Tapi jika tak lagi kutemukan cinta dimatamu itu, apa aku harus tetap bertahan? Bertahan dengan segala luka yang akan semakin dalam setiap harinya dan kesedihan yang tak kunjung reda. Aku tak sanggup untuk itu sayang, pergilah jika itu maumu. Aku akan belajar untuk mengikhlaskan, mengikhlaskan sebuah cinta yang pernah hadir dan yang kufikir akan bertahan untuk selamanya namun pada kenyataannya cinta itu hanya hadir untuk singgah dan kini cinta itu telah pergi, Ia pergi meninggalkan goresan luka dihati. Terimakasih untuk cinta yang selama ini telah kamu berikan untukku.

Oh iya sayang, saat ini hujan sedang turun. Bicara tentang hujan, aku ingin bertanya apa hujan hanya mampu mengisi deraian bunyiannya yang tak mampu keluar dari mulut kita masing-masing? Apa hujan hanya masalah waktu, memendam semuanya dalam diam? Apa hujan hanyalah sebentuk duka atas ketidakmampuan kita merangkai kembali simpul-simpul yang pernah terurai? Entahlah, apa definisi hujan sebenarnya, namun yang aku tau hujan adalah tetesan-tetesan air mata langit yang berjatuhan akibat memendam rasa rindu pada tanah. Tapi tangisku seolah musim penghujan yang tak akan usai. Hanya matahari yang mampu menggantikan senduku, apa kamu ingin menjadi matahari untukku?
Namun ada satu hal yang perlu kamu ketahui, mencintai dan dicintai oleh sosok sepertimu adalah sebuah kebahagiaan tiada tara dalam hidupku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan bagiku, walau tangis sering hadir tetapi percayalah aku bahagia dalam tangisan itu. Walaupun air mata terus berjatuhan, tetapi aku masih bisa tetap bersamamu, merasakan hangat senyummu, dan genggaman jemarimu yang mengisi setiap celah jemariku.


Untuk kamu sang pelangi yang kini telah menjadi hujan untukku