Saturday 31 August 2013

Puisi; Sebuah pengabaian

Pertemuan ini aku tahu bukanlah sebuah kebetulan
Melainkan sebuah takdir
Takdir yang mempertemukan kita
Takdir yang membuatku menjadikanmu sebagai tambatan hati
Takdir yang membuatku berjuang seorang diri
Tapi untuk apa kita dipertemukan oleh takdir?
Apa memang hanya untuk merindukan seorang diri?
Memendam rasa dan menutupnya serapat mungkin
Apa hanya itu tujuan kita dipertemukan?
Namun bukankah setiap orang berhak untuk berada didalam genggaman orang yang dicintai?
Tapi aku tahu aku tak berhak untuk mengharap berada dalam genggamanmu
Berharap agar engkau menjadikanku sebagai tempat berlabuh
Aku tahu betul hal itu mustahil untuk terjadi

Andai engkau tahu seperti apa rasa yang kumiliki
Rasaku ini terlalu berharga untuk kau benci
Untuk kau hina sebegitu rupa
Dan untuk sebuah pengabaian
Aku tak pernah meminta, meronta, ataupun berlutut agar bisa memilikimu, tak pernah
Aku hanya berharap dalam angan
Melayangkan lamunanku pada sebuah udara kosong
Berharap agar engkau tak menganggapku sebagai sebuah kesalahan
Menganggapku sebagai sebuah parasit
Maaf, aku tak pernah berniat untuk mengganggumu, tak pernah

Hingga kini aku hanyalah seorang pengagum rahasia
Mengagumi sosokmu dari sisi gelapku
Mencintaimu dalam kebisuanku
Mendekapmu dalam do'a ku
Dan merindukanmu dalam derai air mataku
Tapi apa kau pernah melihat semua perjuanganku selama ini?
Pernahkah kau melihatku sedikit saja? Tak pernah
Bagimu aku tak pernah ada
Seolah hanya semilir angin yang sudah biasa lalu dihadapanmu
Tapi apa kau tahu bahwa jika tak ada angin, belum tentu hembusan nafasmu itu masih ada hingga kini
Sebegitu tak pentingnya aku dimatamu
Tapi aku tetap saja tak pernah lupa menjadikanmu isi dalam do'a ku

Monday 19 August 2013

Long time no see :))


Tulisan sebelumnya : Saat kau tak menyadari perhatian yang kutujukan kepadamu


Lewat celah sebuah pintu kulihat sosoknya disana, sosok yang sangat kurindukan. Sosok yang sangat betah menghuni setiap ruang kosong dihatiku setelah sekian lamanya. Gelak tawaku berubah menjadi degup jantung yang berpacu sangat kencang dan keras. Kufikir jantung ini tak lagi berdegup kencang saat kulihat lagi sosoknya setelah sekian lama tak terlihat. Ternyata aku salah, jantung ini malah berdegup lebih kencang dari biasanya. Kufikir sosoknya tak lagi menghuni ruang kosong dihati ini. Tapi ternyata malah dialah yang bertahta diruang ini. Dia masih menjadi orang yang selalu kurindukan. Senyumannya yang setelah sekian lama tak lagi menghangatkan hari-hariku. Tatapan matanya yang setelah sekian lama tak meneduhkan hati ini. Suaranya yang setelah sekian lama juga tak menggetarkan hatiku. Kini terbayar sudah segalanya, setelah kulihat sosoknya hari ini. Setelah sekian lama tak kulihat kebahagiaanku, dia. 

Tanpa menutupi, biskuit lunak didalam kepalaku sempat mencoba mempengaruhi hati ini. Mengajak untuk melupakan sosoknya. Menyuruh untuk tak lagi memperdulikannya. Menyuruh agar tak lagi membuka telinga untuk mendengar kabar tentangnya. Dan memerintah mata ini untuk membutakan tatapan saat berpapasan dengannya. Tapi hatiku kini telah dewasa, ia telah bisa menentukan pilihannya sendiri. Menentukan siapa orang yang pantas untuk dicintai. Walaupun telah kubutakan mata hati, tapi ia tetap saja tak ingin pergi dari hati ini. Walaupun telah ku tulikan telingaku, untuk tak lagi mendengar apapun kabar tentangnya. Tapi apa daya, cinta telah memanggilku. Memanggilku untuk tetap menjaganya didalam hatiku. Cinta ini tak pernah menuntut untuk dapat menggapainya, hanya saja ketulusan mengalahkan segalanya. 

Kakiku mengayunkan langkahnya menyusuri sebuah lorong, disuatu ruangan mataku mendapati sosok seseorang. Ia duduk dengan kedua tangan yang diadu tepat didepan wajahnya. Seperti sedang memikirkan sesuatu atau mungkin menunggu sebuah kepastian. Dengan tas bewarna hitam yang tersandang dibahu dan pandangan yang lurus kedepan. Dari samping kulihat siluet wajahnya, memperhatikan lekuk pahatan tangan Tuhan. Tak satupun detail lekuk wajahnya kulewati. Hidungnya yang menjulang mancung. Lekukan bibirnya yang sangat kuhafal. Matanya yang selalu berhasil membuat jantungku berdegup sangat kencang. Kutemukan sosoknya disana. Tapi sosok itu terlihat bingung. Perasaanku langsung berfirasat buruk. Hati ini terus bertanya, apakah firasat buruk ini akan terjadi? Tak perlu beberapa menit, sebuah pemandangan telah menjawab pertanyaanku tadi. Firasat buruk itu benar-benar terjadi.

Dengan langkah cepat dan jantung yang menggebu kulewati sosoknya, secepat angin; aku pun berlalu. Mataku kini mencoba membutakan penglihatannya agar tak selalu memperhatikan setiap tingkahnya. Telingaku mencoba untuk menulikan gendangnya agar tak mendengar suara atau kabarnya. Tubuhku membisu mencoba tak meperlihatkan seperti apa rasa yang kumiliki. Sungguh, ini menyedihkan. Berkali-kali kuhela nafas mengingat apa yang telah terjadi. Namun tak ada yang dapat ku ubah. 


Sayangnya hati ini mengalahkan segala perlawanan otakku untuk tak lagi memperdulikannya. Biskuit lunak didalam kepala ini memerintah hatiku agar mengabaikannya. Namun tak sanggup ku melakukan hal itu. Semakin mencoba untuk menjauh, semakin besar rasa yang kumiliki. Perasaan ini telah lama ada, dan telah lama terpendam. Seolah menguap dari dasar hati, menguap dan berbaur bersama udara, dan menghilang dari pandangan. Sorot mataku terus saja memperhatikan setiap tingkahnya, terkadang tertawa akan tingkah konyolnya, atau aku hanya diam untuk melawan hati ini. Seringkali aku tak bergeming saat didekatnya. Aku malah berubah menjadi orang yang berbeda. Hati ini terus melawan otakku yang bersikeras untuk mengacuhkannya. Andai dia tau betapa sulitnya menahan rasa seperti yang kurasakan saat ini untuknya.

Setelah sekian lama, kamu apa kabar? 
Setelah sekian lama saat kulihat lagi sosokmu, jantungku berdegup sangat kencang. Aku menjadi risih; tak tenang. Ada sesuatu yang meredam didalam hati ini. Rasa rindu yang tak pernah bisa terungkap. Aku merindukanmu.

Monday 5 August 2013

Bertahan atau pergi

Manusia tak dapat memilih jalan mana yang ingin ditempuh. Apakah itu jalan yang penuh liku atau kah jalan lurus tanpa hambatan. Begitu pula dengan hidup, kita tak dapat memilih. Bertahan atau pergi. Kita hanya bisa menjalaninya, menjalani garis hidup yang telah dipilihkan untuk kita. Tapi terkadang tak sedikit orang yang tidak bersyukur dengan apa yang telah dimilikinya. Berfikir bahwa hidup merekalah yang paling menyedihkan, berfikir bahwa merekalah yang paling menderita dikehidupan ini. Mereka hanyalah orang-orang egois yang tak tahu kata terimakasih. Mungkin mereka tak pernah membayangkan bahwa diluar sana banyak orang yang lebih menderita dibanding mereka. Misal saja salah satu diantara mereka, orang-orang tolol yang mau saja mengakhiri kehidupannya untuk hal-hal yang sebenarnya masih bisa dihadapi dan dilaluinya tanpa harus melakukan hal bodoh seperti itu. Pemikiran mereka terlalu pendek. Jika saja mereka cerdas, mereka tak akan melakukan hal bodoh itu. Ingat saja, hidup tak akan pernah selalu berjalan mulus seperti yang kita inginkan. Kita hanya bisa menghadapi dan menjalaninya sebaik mungkin. Seharusnya kita tahu, hidup tak sama rupanya dengan film-film yang kita tonton, yang menjanjikan akhir bahagia. Kita semua tahu hal itu.

Lihatlah disekitar sana, banyak orang yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk berjuang, berjuang untuk tetap bertahan. Tapi apa yang dilakukan orang-orang bodoh itu? Mereka menyia-nyiakan kehidupan. Sedangkan disana seseorang terus berjuang dan berjuang melewati tiap detik, menit, jam, atau mungkin jika mereka beruntung mereka akan melalui beberapa hari atau tahun dalam hidupnya. Menaruh harap untuk sebuah kehidupan. Menaruh harap untuk melihat sebuah cahaya didalam kehidupan. Orang-orang seperti ini tak mengenal lelah. Oke, pasti sesekali mereka merasa lelah dan tak sanggup lagi berjuang. Tapi angan-angan tentang masa depan lebih dipilihnya untuk menjadi alasan bertahan. Jangan menjadi orang bodoh yang menyerah pada hidup. Jadilah pejuang yang terus memperjuangkan mimpi-mimpi untuk masa depan yang cerah.

Sekarat, satu kata yang sanggup membuat mereka tersudut. Tapi sakit, perih, mereka abaikan untuk tetap bertahan. Bertahan demi orang-orang yang mereka cintai. Meredam sakit yang dirasa untuk melihat orang-orang yang mereka cintai tersenyum. Agar tak setetes pun air mata orang-orang yang dicintai jatuh. Namun bukankah manusia itu berbeda dengan malaikat? Terkadang aku berfikir, berangan-angan agar aku hidup sebagai malaikat saja. Malaikat tak perlu merasakan perihnya menjadi orang yang sekarat. Malaikat tak perlu berjuang untuk bertahan hidup. Malah salah satu diantara mereka malah bertugas untuk mencabut nyawa manusia. Mereka bahkan tak memiliki hati dan perasaan. Jadi mereka tak perlu merasakan kesedihan. Aku ingin menjadi mereka, menjadi seorang malaikat.

Sedangkan orang-orang sekarat ini tidak pernah tahu apakah didetik selanjutnya mereka masih akan merasakan hirup nafas yang mengalir diurat nadi mereka, atau jantung yang berdetak sesuai ritmenya. Mereka tak pernah diberikan kepastian, kepastian tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Mereka dibiarkan menerka-nerka, menerka-nerka kehidupan mereka. Menerka waktu yang mungkin akan diberikan. Kebanyakan dari mereka diciptakan untuk menjadi makhluk yang positif, positif dalam menghadapi hidup. Karna mereka tahu, jika negatif yang dipikirkan, maka hal negatif pulalah yang akan terjadi. Begitu pula sebaliknya.

Tak sama dengan penikmat hidup lainnya. Mereka diharuskan untuk berhati-hati pada hidup. Untuk berhati-hati tentang apa yang akan dilakukannya, entah itu akan menjadi ancaman bagi hidupnya. Yang akan menghancurkan segala usaha yang telah dilakukan. Hidup ini memang tak pernah adil bagi mereka, berjuang demi nafas yang ingin  terus dihirupnya, sedangkan beberapa yang lain malah memilih menghentikan nafasnya, menjadikan hidup mereka berakhir dengan sia-sia.

Sebagai manusia, lakukanlah hal-hal yang terbaik untuk hidupmu. Agar tak ada kata menyesal kelaknya.

Sunday 4 August 2013

Tak dapat ku paksa hati

Orang tolol pun tahu tak ada kisah tentang cinta yang bisa terhindar dari air mata. Begitupun aku, aku tahu betul hal itu. Namun hatiku mencoba membuka diri, dan tentunya juga siap untuk terluka. Aku tahu betul seperti apa akhir dari kisah ini. Tahu kisah ini tak akan bertahan lama. Tahu bahwa salah satu diantara kita nantinya akan terluka, kamu atau aku, hanya dua pilihan. Dan bodohnya aku memilih untuk membuka hatiku, menjatuhkan hatiku untukmu. Membiarkan angan-angan tentangmu menari-nari difikiranku. Membiarkanmu seenaknya berlabuh dihatiku. Karna aku mulai merasa nyaman denganmu, tapi jujur saja hati ini tak begitu membukakan pintunya lebar-lebar untukmu. Hanya membukakan secukupnya, secukupnya agar kamu bisa memasukinya. Aku pun tahu kamu sama sepertiku. Hatimu tak begitu membukakan pintunya saat aku mengetuk dari luar. Saat aku menyentuh hatimu. Karna kita tahu, kita pernah merasakan luka, atau mungkin luka itu masih belum kering. Aku tak tahu siapa yang kamu rindukan, aku tak bisa membaca fikiranmu. Tapi entah mengapa, aku merasa yang ada difikiranmu itu bukanlah aku. Aku menerka seseorang masih menguasai fikiran dan hatimu itu. Sehingga kamu tak begitu membukakan pintu hatimu untuk kumasuki, untuk menjadi tempat ku berniang, untuk menjadi tempatku berlabuh. Walau begitu, kita tahu perlahan demi perlahan tanpa disadari hati ini pun mulai jatuh. Mencoba mencari tempat dimana akan berlabuh. Mencari tepian yang membuat perahu ini merasa nyaman.

Aku mencoba untuk tak terlalu peduli. Mencoba untuk tak memasuki hidupmu terlalu dalam. Mencoba untuk meredam kerinduan. Mencoba untuk tak mengubris hatiku. Tapi kini semuanya terlambat, aku tersesat diruang lingkup hatimu. Bahkan kini hatiku telah memilihmu sebagai tambatan. Senyummu telah menjadi suatu keteduhan dihatiku, menjadi hal yang paling ingin kulihat setiap harinya. Suaramu pun sanggup menggetarkan hatiku. Aku juga telah menaruh harap, yang kugantungkan padamu. Telah kuberikan perhatianku untukmu. Tapi apa kini aku telah menjadi satu-satunya untukmu? Aku rasa, aku tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.

Namun seiring berjalannya waktu, aku merasakan sesuatu yang aneh diantara kita. Kini aku tak lagi bisa menerima hati mu yang terbagi. Membiarkan orang lain menari-nari difikiranmu. Membiarkanmu berangan-angan bukan tentangku. Hatiku tumbuh menjadi egois, hanya ingin menguasai ruang hati mu seorang diri, tanpa ada orang lain selain aku. Aku tak ingin kamu membawanya ke dalam cerita-ceritamu. Begitu piciknya hati ini. Namun tak ada yang dapat kulakukan, hatimu bukanlah untukku sayang. Bahkan aku tak tahu seperti apa rasa yang kamu miliki untukku. Hatiku bukan lagi pribadi yang sabar menerima dan menunggu hingga tiba saatnya kamu akan membuka hati, kini ia telah tumbuh menjadi pribadi yang egois. Yang ingin memiliki hatimu seutuhnya. Ini bukan salahku, atau salahmu, dan tentunya bukan juga salah dia.

Walau seharusnya dari dulu aku menghindar, menghindar dari pahitnya cinta. Tetapi bodohnya aku memilih untuk mengabaikan segala perih yang mungkin akan kurasakan demi bersamamu. Mengabaikan air mata yang mungkin akan mengalir. Merelakan sakit yang akan kurasakan. Namun kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati

Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati.
Jatuhkan hatiku kepadamu, sehingga hidupku pun berarti.
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci.
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati.

-Cinta tak mungkin berhenti-nya Tangga