Kamu selalu berkata bahwa akulah satu-satunya, akulah segala hal yang kamu inginkan. Akulah yang kamu cintai. Tapi nyatanya kini kamu menginginkan aku pergi. Pergi menjauh darimu agar aku tak mengusik kehidupanmu lagi. Seolah kamu ingin membuangku sejauh mungkin, agar aku tak berada disisimu lagi. Sedangkal itukah cinta yang selama ini selalu kamu ucapkan? Aku kecewa telah membiarkanmu masuk ke dalam kehidupanku. Mengusik kehidupanku dan membuatku jatuh terlalu dalam padamu. Seharusnya aku tak perlu merasakan cinta yang terlalu dalam terhadapmu jika nyatanya cintamu hanya sedangkal ini. Tapi sayang, aku telah jatuh kedalam lubang yang kamu buat sendiri. Apakah kamu tega melihatku menangis, meronta, semenyedihkan ini? Katamu, kamu tak ingin melihatku menangis, tapi nyatanya kamulah penyebab air mata ini. Seolah sesaat kamu bisa membuatku tertawa bahagia, namun sesaat kemudian kamu bisa membuatku menangis sedemikian rupa. Sadarkah kamu atas hal yang sudah kamu perbuat itu? Jangan torehkan lagi luka dihati ini, karna akan butuh banyak waktu untuk menyembuhkannya kembali.
Bukankah kamu selalu bilang bahwa kamu hanya akan memandangku karna aku bukan karna ada apanya aku? Tapi kini kamu seolah sedang menelan ludahmu sendiri. Bagaimana rasanya? Sebaiknya dulu kamu bisa menjaga janji-janjimu yang terlalu besar itu karna kini telah terbukti bahwa kamu benar-benar mengingkarinya. Padahal sebelumnya aku telah memperingatimu, jangan pernah berjanji jika tak mampu menepatinya. Tapi kamu tersenyum dengan yakin bahwa kamu tak akan pernah mengingkari janjimu. Dan bodohnya aku percaya pada setiap omonganmu. Bukan karna aku bodoh atau terlalu polos, hanya saja aku mempercayaimu karna kamu yang berbicara. Setiap hal yang terlontar dari mulutmu selalu ku percayai, dengan polosnya aku bertanya "Benarkah?", lalu kamu tertawa sambil mengusap kepalaku. Entah apa yang kamu inginkan, tapi kini aku benar-benar terluka, luka yang dalam.
Aku mungkin memang tidak sempurna, aku tidak lebih dari manusia kebanyakan. Aku bukanlah seorang malaikat yang terlalu putih, seperti halnya sebuah kanvast yang belum ditorehkan cat air. Aku hanyalah seorang manusia yang mencintaimu, yang selalu ingin berada dalam dekap hangatmu, menggenggam terus jemarimu, dan berharap suatu saat dapat bersanding denganmu di masa depan. Bahkan aku membayangkan disuatu liburan kita pergi bertamasya duduk berdua didepan dengan anak-anak kita yang lucu duduk manis di bangku belakang. Sesekali mereka bertengkar mempermasalahkan lagu yang ingin diputar atau mungkin memperebutkan kursi depan. Sungguh hal yang indah.
Seharusnya kamu tau, seharusnya kamu bisa membaca isi hatiku. Aku tak memberimu isyarat, aku malah dengan terang-terangan mengungkapkan seperti apa rasa yang ku miliki untukmu. Tapi nyatanya kamu tetap saja tidak megerti hal itu. Seolah matamu telah kamu butakan, sehingga kamu tak melihat bentuk cinta yang ku berikan. Dan telingamu telah kamu tulikan, sehingga kamu tak mendengar kata-kata cintaku, sekalipun aku berteriak. Kamu tak mengerti bahasaku. Bahkan kini aku tak sanggup lagi berkata-kata, seolah saat ini hanya tangisan yang menjerit dariku. Aku tak tau harus seperti apa lagi aku berteriak cinta ditelingamu, jika nyatanya kamu tak pernah mau mendengar itu.
Tapi sungguh, aku tak ingin perpisahan terjadi diantara kita. Aku tak ingin melihatmu melangkah pergi, aku tak ingin melihat punggungmu yang semakin terlihat jauh. Aku tak ingin berada jauh darimu. Jika ini memang perpisahan, aku menyesal karna diakhir pertemuan tak memelukmu. Aku ingin menahanmu selama mungkin, bahkan jika perlu selamanya. Tapi apa yang bisa kulakukan jika nyatanya cintamu tak sebesar cintaku? Bahkan aku telah berteriak ditelingamu bahwa aku mencintaimu, hanya kamu satu, dan aku hanya milikmu. Namun nyatanya kamu tak ingin mendengar hal itu kan? Aku menyerah.
Tapi jika masih ada jalan untuk kembali, ku mohon kembalilah.
Bukankah kamu selalu bilang bahwa kamu hanya akan memandangku karna aku bukan karna ada apanya aku? Tapi kini kamu seolah sedang menelan ludahmu sendiri. Bagaimana rasanya? Sebaiknya dulu kamu bisa menjaga janji-janjimu yang terlalu besar itu karna kini telah terbukti bahwa kamu benar-benar mengingkarinya. Padahal sebelumnya aku telah memperingatimu, jangan pernah berjanji jika tak mampu menepatinya. Tapi kamu tersenyum dengan yakin bahwa kamu tak akan pernah mengingkari janjimu. Dan bodohnya aku percaya pada setiap omonganmu. Bukan karna aku bodoh atau terlalu polos, hanya saja aku mempercayaimu karna kamu yang berbicara. Setiap hal yang terlontar dari mulutmu selalu ku percayai, dengan polosnya aku bertanya "Benarkah?", lalu kamu tertawa sambil mengusap kepalaku. Entah apa yang kamu inginkan, tapi kini aku benar-benar terluka, luka yang dalam.
Aku mungkin memang tidak sempurna, aku tidak lebih dari manusia kebanyakan. Aku bukanlah seorang malaikat yang terlalu putih, seperti halnya sebuah kanvast yang belum ditorehkan cat air. Aku hanyalah seorang manusia yang mencintaimu, yang selalu ingin berada dalam dekap hangatmu, menggenggam terus jemarimu, dan berharap suatu saat dapat bersanding denganmu di masa depan. Bahkan aku membayangkan disuatu liburan kita pergi bertamasya duduk berdua didepan dengan anak-anak kita yang lucu duduk manis di bangku belakang. Sesekali mereka bertengkar mempermasalahkan lagu yang ingin diputar atau mungkin memperebutkan kursi depan. Sungguh hal yang indah.
Seharusnya kamu tau, seharusnya kamu bisa membaca isi hatiku. Aku tak memberimu isyarat, aku malah dengan terang-terangan mengungkapkan seperti apa rasa yang ku miliki untukmu. Tapi nyatanya kamu tetap saja tidak megerti hal itu. Seolah matamu telah kamu butakan, sehingga kamu tak melihat bentuk cinta yang ku berikan. Dan telingamu telah kamu tulikan, sehingga kamu tak mendengar kata-kata cintaku, sekalipun aku berteriak. Kamu tak mengerti bahasaku. Bahkan kini aku tak sanggup lagi berkata-kata, seolah saat ini hanya tangisan yang menjerit dariku. Aku tak tau harus seperti apa lagi aku berteriak cinta ditelingamu, jika nyatanya kamu tak pernah mau mendengar itu.
Tapi sungguh, aku tak ingin perpisahan terjadi diantara kita. Aku tak ingin melihatmu melangkah pergi, aku tak ingin melihat punggungmu yang semakin terlihat jauh. Aku tak ingin berada jauh darimu. Jika ini memang perpisahan, aku menyesal karna diakhir pertemuan tak memelukmu. Aku ingin menahanmu selama mungkin, bahkan jika perlu selamanya. Tapi apa yang bisa kulakukan jika nyatanya cintamu tak sebesar cintaku? Bahkan aku telah berteriak ditelingamu bahwa aku mencintaimu, hanya kamu satu, dan aku hanya milikmu. Namun nyatanya kamu tak ingin mendengar hal itu kan? Aku menyerah.
Tapi jika masih ada jalan untuk kembali, ku mohon kembalilah.